Subulussalam-Aceh, Batas PPKM berakhir awal November 2021 silam. Namun fenomena pemasangan portal di jalan nasional, tepatnya di lintasan Jembatan Timbang UPPKB Prov. Aceh di Desa Jontor, Kec. Penanggalan, Subulussalam yang berhadapan langsung dengan Masjid Al Iman di desa itu, sampai hari ini tetap terpasang. Salah satu efek fisik pasca pemasangan portal di sana, batas badan batas badan jalan utama dengan gerbang masjid membentuk seperti kolam kecil dan bekas genangan air saat musim penghujan.
Herannya dalam beberapa bulan terakhir, portal di sana aeperti tak bertuan. Pasalnya, kadang terbuka beberapa buah dan hanya bisa dilalui sepeda motor, lalu pada waktu lain bisa dilalui kendaraan pribadi, bahkan sesekali oleh kendaraan besar. Makin aneh, saat ditutup dengan memasang semua portal itu sehingga nyaris jamaah mau masuk ke lokasi masjid menjadi terkendala, pemasang portal itu bukan serta merta petugas terkait.
Entah seperti usil atau bagaimana, ada sejumlah warga setempat merasa seolah peduli sehingga ia pasang dan susun kembali portal itu secara utuh jika ia lihat berserak. Namun pemandangan itu takkan berselang lama, karena warga lain bahkan oknum pengendara akan membuka kembali beberapa buah portal sehingga sepeda motor atau kendaraan kecil bisa melintas. Kondisi berubah-ubah seperti ini juga seperti tak dipedulikan petugas UPPKB yang berjaga di sana.
Padahal pos UPPKB itu buka 24 jam, meski aktivitas mengawasi kendaraan besar atau menimbang mobil/truk pembawa barang hanya beberapa jam saja. Hanya sekira antara pukul 20.00 hingga 24.00 WIB setiap hari. Di luar jam itu, bukan tidak banyak truk, kendaraan besar lintas, jangankan ditimbang, pada ujung sisi kiri dan kanan timbangan justru dipasang portal sebagai isyarat ‘sedang tidak melakukan penimbangan’, padahal semua kendaraan itu lintas di area UPPKB karena penempatan portal persis di badan jalan nasional itu berakibat kendaraan tidak bisa melintas.
Fenomena pemasangan portal sehingga memaksa semua kendaraan lintas Medan – Subulussalam dan sebaliknya masuk area UPPKB itu bukan tak merepotkan para sopir. Terlebih di jalan masuk atau keluar sebelah barat UPPKB itu, nyaris jalan berlubang. Paling tidak, fakta besi tanam penyanggah atau penguat jalan itu sudah nampak jelas sehingga harus bisa dielakkan setiap sopir untuk menghindari benturan. Makin aneh, petugas terkait terkesan tutup mata dengan fenomena ini.
Lalu pertanyaannya, apakah portal itu masih bagian dari pada isyarat ada penyekatan (PPKM) atau hanya sekedar azas manfaat oleh UPPKB. Pasalnya, sebelah barat pintu masuk dan keluar UPPK itu dipasang plang merek Dishub Aceh dengan pesan ‘Mohon Maaf, Ada Pemeriksaan Kendaraan Bermotor’ yang terpajang sepanjang waktu atau tidak pernah dibuka. Jika dibandingkan dengan masa kerja petugas terkait, hanya berkisar empat jam setiap hari, sementara plang itu terpasang nonstop, apakah tidak patut disebut jika portal sisa covid-19 itu difungsikan sebatas azas manfaat oleh UPPKB.
Padahal sebelum ada pemasangan portal tahun lalu di sana, sekira pukul 20.00 – 24.00 WIB petugas UPPKB standby di sisi barat dan timur UPPKB, meminta angkutan barang masuk ke area UPPKB untuk ditimbang, tanpa mengganggu kendaraan kecil atau mobil pribadi lintas.
Fakta para pengendara lintas Medan – Subulussalam atau sebaliknya ‘dipaksa’ melalui area UPPKB padahal di area itu sama sekali tak ada pemeriksaan, baik oleh petugas Dishub/UPPKB atau petugas lain, agaknya perlu menjadi perhatian pemerintah. Apakah memang patut pemasangan portal di sana, padahal status jalan itu jelas sebagai jalan lintas provinsi atau jalan nasional. Dan apakah tidak lebih baik jikaplang Dishub Aceh itu tidak selamanya dipasang, terlebih jika penimbangan sedang tidak dilakukan. Pertanyaan lain, apa ruginya pemerintah jika di jalan mulus itu tidak dipasang portal jika memang ketentuan PPKM sudah berakhir. Pesan agama, jika seseorang melihat duri menghalang di jalan sebaiknya dia singkirkan duri itu. Portal itu, menutup jalan bagus dan menyuruh kendaraan lintas melalui jalan ‘agak’ rusak.

Diketahui, awal mula penyekatan di sana berawal merebaknya penyakit virus ‘mendunia’ Covid-19, Maret 2020 silam. Sela beberapa bulan terkesan abai, pada Mei 2021 di penghujung ramadhan atau sepekan memasuki Idul Fithri 1442 H kembali ‘memvirus’ sehingga penyekatan atau pelarangan warga mudik kembali diberlakukan pemerintah. Pos penyekatan didirikan di beberap titik, terutama di titik perbatasan provinsi dan sebagian perbatasan antara kabupaten, kota dalam satu provinsi yang dinilai patut dibuat.
Fenomena titik pos penyekatan antar Provinsi Aceh bagian selatan di Kota Subulussalam dengan Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten Pakpak Bharat menjadi catatan tersendiri. Pasalnya, titik perbatasan Aceh – Sumut persis berada di Gajah Putih, Desa Lae Ikan, Kec. Penanggalan, Kota Subulussalam sehingga idealnya pos penyekatan itu dipasang di sana meski dengan sejumlah P. Soal layak atau tidak, diperlukan anggaran untuk mendirikan pos dan berbagai konsekuensinya, pemerintah pasti punya anggaran dan Desa Lae Ikan sebagai perbatasan adalah harga mati, tak ada alasan mengalihkan pos penyekatan ke tempat lain.
Pertanyaan sejumlah pihak, kenapa pos penyekatan tidak dibuat di titik perbatasan itu, Desa Lae Ikan. Kenapa harus di Desa Jontor yang letak jaraknya dengan Desa Lae Ikan tidak kurang dari 15 kilometer. Apakah karena ada Jembatan Timbang Unit Pelaksana Penimbangan Kenderaan Bermotor (UPPKB) Dinas Perhubungan Prov. Aceh dengan sejumlah fasilitasnya atau alasan lain. Apakah kebijakan ini justru tidak terkesan menapikan Desa Lae Ikan sebagai perbatasan Aceh – Sumut yang seharusnya dikedepankan.
Portal di UPPKB yang berbatas langsung dengan Masjid Al Iman, satu-satunya masjid di desa itu bukan tak dilema. Paling tidak dan mendasar, terjadi pengabaian hak jamaah saat hendak ke masjid itu. Pasalnya, portal dipasang persis di sisi kiri dan kanan (barat dan utara) masjid sehingga membuat jamaah tak nyaman masuk ke lokasi masjid.
Jamaah berharap, portal dijadikan satu titik, persis di bagian tengah pintu gerbang masjid sehingga jamaah mengendarai sepeda motor yang masuk dari sisi barat maupun timur sedikit lebih leluasa dan tetap memarkirkan kanderaan di halaman masjid. Ironis memang, jamaah khususnya dan warga tak kuasa menuntut. Konkritnya, pemasangan portal di sana perlu ditinjau ulang kembali.